Perlunya Jiwa Terbuka untuk Menjaga Kesehatan Mental Pasca Pandemi

Blog Single

By: Aisyah Rizqiatul Ulyana

(Mahasiswa MD IAIN Kudus '18)

 

Sejak pandemi Covid-19 mewabah pada 2020, program yang dilakukan oleh pemerintah untuk pelajar dan mahasiswa adalah Study From Home (Belajar Dari Rumah_Red), dengan Study From Home setidaknya kita bisa mengurangi penularan Covid-19 diberbagai wilayah. Tapi sayangnya, dengan Study From Home kita jadi tidak bisa melakukan rutinitas seperti biasa sebelum pandemi meskipun dewasa ini sebagian pembelajaran sudah diberlakukan secara langsung (Pembelajaran Tatap Muka) terbatas, walaupun begitu tetap saja suasana sekarang ini tidak sama seperti dulu lagi.

Menurut Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran Prof. Dr. Hendriati Agustiani. M.Si. yang dilansir dari unpad.ac.id, ia berpendapat bahwa, salah satu persoalan besar yang muncul dari pandemi adalah tercerabutnya rutinitas dimana hal tersebut dapat menurunkan motivasi.

“Itu yang membuat persoalan cukup besar, baik untuk anak-anak maupun untuk orang tua,” tuturnya.

Pandangan saya mengenai dampak yang ditimbulkan akibat Covid-19 dan pembatasan-pembatasan yang diterapkan adalah banyaknya manusia terutama pelajar dan mahasiswa hingga orang tua merasakan adanya ketidakpastian dalam hidup, ketakutan, dan terisolasi selama pandemi.

Dampak yang ditimbulkan dari adanya pembatasan aktifitas fisik dan bersosialisasi di sekolah maupun di kampus adalah kegiatan belajar dan bermain terus di rumah juga menjadi sebab datangnya perasaan ketidakpastian dan kecemasan dalam menjalani hidup.

“Layaknya manusia merupakan makhluk sosial biasanya sangat perlu bersosialisai. Sementara sekarang semua geraknya dibatasi. Itu sebetulnya yang membuat anak-anak merasa cemas, takut, dan tidak nyaman,” ujar Prof. Tia.

Selain anak-anak, rutinitas remaja yang masih berstatus pelajar ataupun mahasiswa juga dapat terganggu karena tidak adanya kegiatan yang terstruktur seperti di lingkungan sekolah maupun kampus. Anak-anak dan remaja pun lebih irritable, clingy, mencari perhatian, dan lebih dependen kepada orang tuanya.

“Artinya, relasi yang terbangun betul-betul dengan orang tua lebih banyak dibandingkan dengan teman sebaya dan dengan lingkungan sekolah,” jelasnya.

Beberapa anak didapati menunjukkan perubahan perasaan karena tanggapan dalam kesadaran individu yang lebih rendah kerena tidak dapat bermain di luar dan bertemu teman-teman secara langsung.

Lantas, cara apa yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi seperti ini? Jawabannya adalah menjaga kesehatan mental. Dengan cara apa kita dapat menjaga kesehatan mental? Yuk, mari kita simak penjelasannya.

Resiliensi

Hal terpenting untuk menjaga kesehatan mental menurut Prof. Tia adalah adanya resiliensi atau kelenturan. Yang dimaksud dengan resiliensi disini adalah kemampuan untuk bertahan dan bangkit dari peristiwa atau tantangan yang berat.

Beliau juga menjelaskan bahwa setiap orang memiliki kemampuan untuk melihat dari dua sisi, yaitu sisi baik dan sisi buruk. Keseimbangan seperti itulah yang dibutuhkan pada saat pandemi seperti ini.

Untuk itu, dibutuhkan adanya penggunaan cognitive appraisal strategy. Beliau juga menilai bahwa kemampuan ini dapat membantu seseorang dalam menghadapi emosi yang terguncang.

“Jadi kita harus mengubah mindset kita. Bahwa ini merupakan suatu tantangan. Ini merupakan sesuatu yang harus kita hadapi. Bahwa kita mengalami keterpurukan di satu sisi, oke, tapi kita harus bangkit karena kita semua harus berjalan. Ini yang membantu ketahanan terhadap stres atau gejala depresi,”

Selain itu, agama dan ilmu pengetahuan pun dibutuhkan untuk saling melengkapi, utamanya pada kondisi yang cukup menekan dalam mengatasi kesulitan. Kajian mengenai rasa bersyukur pun harus banyak dilakukan saat ini.

“Beberapa hasil penelitian menunjukan bahwa itu merupakan energi positif yang membuat orang mau beradaptasi dan memunculkan motivasi baru untuk tetap bisa berjalan,”

Dukungan sosial juga menjadi hal yang penting, baik dari seseorang maupun sekelompok orang. Dukungan sosial ini kuncinya adalah adanya kehangatan, keterbukaan, dan komunikasi dua arah. Tapi tetap menjaga independensi dan interdependensi,” pungkasnya.

 

Editor: F.A. Fajar

Share this Post1: