Revitalisasi Moderasi dalam Beragama Kaum Millenial dan Gen Z

Blog Single

Nama Penulis      : Fandi Ahmad Fajar

Perguruan Tinggi : IAIN Kudus

NIM                    : 174031028

 

Era berubah dari masa ke masa. Penguasa keadaan berpindah tangan dari golongan tua kepada golongan muda. Sejatinya tidak ada perbedaan kepentingan kecuali saling menghagai sesama, tak perduli dari kaum yang mana, ras apa, atau jenis kelamin yang dimiliki. Kesuksesan generasi sebelumnya menghadirkan kita (kaum millenial dan gen Z) tak akan ada tanpa kedamaian antar sesama di generasi pendahulu kita. Maka, bagaimana dengan kita? Akankah mampu menghasilkan generasi selanjutnya?

Sebelum melaju lebih jauh ke arah moderasi, mari kita menyelami apa itu generasi millenial dan generasi Z. Hampir sama namun berbeda. Terkadang muncul hal yang rancu diantara kita, karena dua generasi tersebut hadir di masa yang sama. Ekrut.com mengatakan generasi millenial disebut juga dengan generasi ‘Y’ yang lahir pada kurun waktu 1980-1995. Generasi ini memiliki kisaran umur antara 25 hingga 40 tahun. Berbeda dengan generasi ‘Z’ yang notabene dilahirkan pada kurun waktu 1996-2015. Jika diperkirakan, usia generazi ‘Z’ berkisar antara 5 hingga 24 tahun. Per tahun 2021, keduanya hidup pada masa yang sama. Namun apakah sama dalam pemikiran? Tentu tidak. Model gaya berpikir dan menanggapi masalah tentu sangat berbeda. Jadi untuk memandang urgensi moderasi beragama, tentu memiliki cara pandang yang berbeda. Oleh karena itu penulis sengaja mengangkat judul ‘Revitalisasi dalam Beragama Kaum Millenial dan Generasi Z.’

Setelah mengetahui beda antara dua generasi tersebut, selanjutnya kita melaju kepada apa itu moderasi dan apa itu agama. Moderasi sendiri berasal dari kata moderat, yang dalam KBBI bermakna selalu menghindarkan diri dari perilaku ekstrem. Atau dapat dikatakan tidak terlalu memihak atau bersikap seimbang. Lalu bagaimana dengan agama? Di Indonesia sendiri mengakui multi agama. Terdapat 6 agama yang diakui dan berbagai macam aliran kepercayaan. Masing-masing agama dan aliran kepercayaan tersebut memiliki pengikut. Namun tidak dipungkiri bahwa pengikut agama maupun aliran kepercayaan belum tentu seorang pengikut atau umat yang taat.

Lalu apa yang ditakuti? Sejatinya kita bisa belajar dari pendahulu kita yang sukses berhasil meneruskan keturunan sampai kepada kita. Kita merevitalisasi apa yang telah pendahulu lakukan. Kuncinya adalah kedamaian. Dengan keadaan damai, maka kehidupan akan berjalan lancar tanpa ada konflik yang berarti. Semakin dewasa seseorang akan semakin bijak pemikirannya. Budaya Jawa ada yang mengatakan ‘mbudek lan micek’ atau dalam Bahasa Indonesia bermakna menjadikan tidak mendengar dan tidak melihat. Bukan semuah justifikasi, namun bukti saat ini adalah masyarakat Jawa menduduki peringkat pertama dengan jumlah paling banyak di Indonesia. Data terakhir jumlah penduduk suku Jawa di Indonesia mencapai lebih dari 100.000.000 jiwa. Dua kali lipat lebih banya dari jumlah penduduk suku Sunda yang menempati peringkat ke-2 yaitu +45.000.000 jiwa. Apabila ditarik kepada ajaran agama islam, maka Allah SWT. telah menjelaskan kepada kita semua dalam QS. Al kafirun ayat ke-6 لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ yang bermakna ‘untukmu agamamu, dan untukku agamaku.’

Maka dengan adanya saling memahami, saling menjaga satu sama lain yang menghasilkan perdamaian, ada kemungkinan moderasi akan tercapai. Lalu bagaimana cara mengaplikasikannya? Meminjam teori dari GR Terry tentang manajemen, kita dapat mengambil 4 fungsi manajemen.

1. Perencanaan

Tidak dipungkiri bahwa generasi Y dan Z memiliki keunggulan dengan generasi sebelumnya, yaitu hadirnya koneksi internet yang membantu mendapatkan informasi dengan lebih mudah. Maka dengan penggunaan internet dan teknologi-teknologi pendukung lainnya, kedua generasi ini dapat lebih mudah dalam melakukan perencaraan dakwah. Terutama saat ini, telah tersedia platform yang menawarkan berbagai macam fitur yang dapat dimanfaatkan.

 

2. Pengorganisasian

Menindaklanjuti atas tahap pertama, setelah melakukan perencanaan maka perlu diorganisasaikan. Sebagai muslim apakah hanya harus berteman dengan sesama muslim? Tentu jawabannya adalah tidak. Moderasi beragama tidak akan tercapai apabila kita menutup diri dengan yang lain.

 

3. Pelaksanaan

Lalu langkah ketiga adalah melaksanakan strategi yang diatur dalam perencanaan. Setiap orang atau lembaga memiliki strategi masing-masing. Akan tetapi bagaimana dengan generasi millenial dan generasi Z ini? Langkah jitu menggunakan koneksi internet bisa menjadi pilihan utama. Dengan aplikasi video conference seperti Zoom Meeting dan Google Meet mempermudah untuk melaksanakan komunikasi. Termasuk apabila ada permasalahan antar etnis dan agama. Diskusi untuk mencari jalan keluar dapat dilakukan. Dan mengandung resiko yang sangat kecil. Karena tidak bertemu secara langsung.

4. Pengawasan

Yang terakhir adalah evaluasi. Pada setiap langkah yang dilakukan akan lebih baik melakukan evaluasi. Melihat bagaimana kerja yang telah dilakukan. Bagaiman proses yang dilakukan. Sehingga dapat dilihat mana yang sudah bagus, mana yang perlu dibenahi, dan mana yang seharusnya tidak dilakukan di kesempatan berikutnya. Sehingga dengan konsep memnfaatkan koneksi internet dan teori manajemen penulis kira sangat cocok untuk diaplikasikan.

 

Share this Post1: